Tuesday 16 August 2011

Nemu catatan di buku usangku 9dari bait2 doa Emha)

Ya Allah...

Jika aku bertemu atau berpisah dengan seseorang atau dengan segolongan umat-Mu,

Jika aku mengalami atau terhindar dari sesuatu, Jika aku mengerjakan atau menolak sesuatu,

Jika aku menjalankan kewajiban atau menepis larangan dalam keterlibatan hidupku di bidang apa saja.

Aku mohon dengan sangat, aku mohon dengan segala kelemahan dan kehinaan diriku,

Agar semua itu berlangsung tidak karena aku menginginkannya,

Atau karena aku tidak menginginkannya.

Melainkan semata-mata karena Engkau menghendaki atau tidak memperkenankannya

(dr bait2 doa Emha)

KEJUJURAN YANG TERKOYAK oleh Vanda Nur Arieyani pada 19 Juni 2011 jam 8:05

Bismillahirrahmanirrahiim .....



           Hal yang paling menentukan dari proses belajar formal di negeri ini adalah apa yang dinamakan ujian akhir.  Dulu semasa saya masih sekolah,  ujian akhir sekolah di beri nama EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), sekarang istilah berubah menjadi UNAS (Ujian Nasional) dan entah tidak tahu berubah menjadi istilah apalagi.  Yang pada intinya adalah ujian akhir setelah melewati masa beberapa tahun sekolah untuk mendapatkan predikat lulus dengan ditandai selembar surat tanda tamat belajar, atau kerennya disebut ijazah.

             Dulu, ketika masa saya sekolah, untuk mendapatkan selembar ijazah itu kami harus  melewatnya melalui  ujian yang  masih menjunjung tinggi “kejujuran” diatas segalanya.  Rasanya malu sekali kalau ketahuan tidak jujur saat ujian.  Tapi “kejujuran” inilah yang sekarang menjadi barang teramat mahal dan sangat berharga, bahkan semakin langka di dunia pendidikan saat ini.  Apalagi kalau berhubungan dengan masalah UNAS yang menjadi titik ukur keberhasilan seorang murid dan terutama keberhasilan sebuah sekolah untuk mencapai kebanggaan dengan keberhasilan meluluskan muridnya 100%.

           Terhenyak, melihat seorang ibu dengan suara bergetar menahan tangis mengadu di sebuah stasiun TV tentang anaknya yang  menjadi korban praktek ketidakjujuran ini.  Sang anak sampai trauma, dadanya sesak, kepalanya pusing menahan gejolak perasaan yang menyerbu dada kecilnya yang masih bersih.  Dia bingung antara nilai-nilai moral yang selama ini ditiupkan oleh bunda dan lingkungannya, terkoyak begitu saja oleh 'ketidakjujuran UN' yang hanya berlangsung 3 hari.  Mungkin banyak anak yang cuek, tapi nilai-nilai moral itu otomatis sudah ternoda.  Dan sebenarnya masih banyak Ibu-ibu  lainnya yang merasakan hal yang sama, tapi mereka tidak tahu hendak berteriak dan mengadu pada siapa.


             Kisah-kisah di bawah ini berasal dari orang-orang dekat di sekitar saya, setahun yang lalu.  Yang membuat rongga dada saya ikut begetar dan perih mendengarnya.  Kisah-kisah yang sudah bukan rahasia umum lagi, tapi baru menjadi berita saat ada seorang Ibu yang berani dan nekat 'berteriak'

           Cerita pertama saya dapat dari seorang teman yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Ketika UNAS menjelang maka seperti  biasa masing-masing sekolah akan melakukan pengawasan silang, dan para pengawas ini diberi pengarahan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini. Dan pengarahan yang diberikan sungguh membuat para guru dan orang-orang yang masih sehat nuraninya melongo kaget. Bagaimana tidak, demi untuk mencapai angka kelulusan 100% atau minimal tidak memalukan bagi pihak sekolah atau daerah yang bersangkutan, maka dihalalkanlah "KETIDAK JUJURAN". Dalam pertemuan itu, dibuatlah sebuah kesepakatan bersama.,  yang isinya adalah, bahwa pengawas harus membiarkan peserta ujian untuk saling contek, bila perlu membantu para peserta ujian untuk mengerjakan soal-soal ujian mereka dengan cara-cara yang di sepakati bersama juga.

        Tidak hanya sampai disini, para anak didik peserta ujianpun oleh masing-masing sekolah diberi pengarahan untuk menghalalkan segala cara agar lulus. Diajarkanlah trik-trik mencontek, ataupun kerjasama antar siswa untuk saling memberi jawaban.  Bila memang diperlukan sekolah akan mencari kunci jawaban, untuk dibagikan pada siswa mereka sebelum UNAS berlangsung.   Nah… bikin perih dan pedih kan mendengarnya.

          Akan menjadi apa bangsa ini jika anak-anak usia pendidikan dasar sudah diracuni kebobrokan moral semacam ini.  Rasanya hancur sudah kebiasaan untuk jujur, percaya pada diri sendiri yang ditanamkan di rumah, ditempat mengaji, dan di kelas-kelas selama ini.  Ajaran yang ditanamkan sejak dini , bahwa Allah Maha Tahu, Allah tidak pernah tidur, Allah melihat apapun yang kita lakukan tergadai sudah.

          Dan pengalaman teman saya ini semakin nyata ketika hari "H" ujian berlangsung. Semua peserta ujian di sekolah yang dijaganya, ramai bagai pasar , mereka dengan santai mencontek dari lembaran kertas yang mereka sudah persiapkan, saling bertanya antar teman dan sebagainya. Hati nurani teman saya sebagai seorang pendidik yang selama ini begitu teguh memegang dan mengajarkan kejujuran terkoyak,
 " Tak ada gunanya saya mengawasi ini semua." gumam teman saya waktu itu.

        Ya…buat apa dia berada disana sebagai pengawas, jika fungsi sebagai pengawas sama sekali tidak ada.  Pengawas ujian yang seharusnya disegani, sama sekali tidak dianggap, bahkan seolah-olah tidak ada.  Pengawas ujian yang seharusnya bertugas mengawasi anak-anak peserta ujian untuk berlaku jujur, justru dianjurkan untuk membantu anak-anak menikam kejujuran.

"Alhamdulillah…” Kata teman saya dengan perasaan lega luar biasa.  Perasaan lega itu terpancar karena  sekolah tempat dimana dia mengabdi, tidak ikut dalam "kesepakatan" itu.

“Kami tetep memegang teguh apa yang kami yakini benar.  Dan Alhamdulillah, anak-anak didik kami lulus 100% dengan sangat bangga, dengan hasil yang memuaskan meskipun tidak menjadi yang terbaik.  Dan itu lebih membanggakan , karena itulah hasil kerja keras mereka.”  Kata teman saya sambil tersenyum.

          Ada cerita juga dari seorang teman tentang anaknya yang "STRESS" saat menghadapi Unas. Bukan karena tidak siap dengan materi pelajarannya, tapi karena batinnya bergolak. Betapa selama ini dia diajari untuk jujur, percaya pada diri sendiri, tapi pada akhirnya dia harus menerima kenyataan "Ketidak Jujuran berjama'ah" yang dimaklumi dan disarankan seperti yang diceritakan teman saya diatas itu.   Rasanya proses pendidikan selama-bertahun-tahun itu hancur sudah oleh beberapa hari pelaksanaan ujian nasional.

           Seorang tetangga juga bercerita, pagi hari saat subuh baru saja menjelang, ketika anaknya sedang mempersiapkan segala perlengkapan  untuk ujian hari itu, telah masuk SMS yang berisi jawaban-jawaban UNAS ke ponsel anaknya.  Sungguh sangat miris mendengarnya,  padahal anak tetangga saya itu baru akan menempuh ujian kelulusan tingkat sekolah dasar.  Ternyata praktek perjokian sudah merambah di pendidikan pada tingkat dasar, yang seharusnya menjadi pijakan untuk menanamkan moral pada anak-anak kita.  Padahal tanpa bocoran jawaban itupun , saya yakin si anak bisa mengerjakan soal-soal ujiannya, jika dia belajar dengan sungguh-sungguh.  Orang tua yang seharusnya menjadi benteng moral bagi anak-anaknya,  ternyata ikut andil juga dalam masalah ini.  Sungguh ironis sekali.

            Teman satu kantorpun tak kalah kaget, bagaimana tidak, saat sedang repot dan sibuk dengan pekerjaan di kantor, adiknya yang saat itu sedang menjalani UNAS untuk kelulusan di tingkat sekolah menengah pertama, masih bisa bertanya lewat SMS tentang jawaban soal ujiannya (hehehe… ujian sekarang jadi seperti ikut kuis di televise saja rupanya)


             Gebyar berlangsungnya UNAS (ujian nasional) mulai tingkat dasar hingga tingkat lanjutan atas yang setiap tahun menjadi perhelatan besar dan penuh debar akan selalu terjadi berulang , dan  banyak cerita-cerita seputar ujian itu yang membuat dada ini bergetar, miris, bahkan perih ,  (meskipun ini rasanya sudah bukan rahasia umum lagi).


             Semoga masih banyak para pendidik di negeri ini yang masih punya hati nurani, mendidik dengan hati.  Karena sesungguhnya nilai-nilai pendidikan bukan hanya hasil di atas kertas, tapi goresan kebajikan, kejujuran, dan budi pekerti yang luhur  yang terus menerus dituliskan dihati anak-anak, dan diwujudkan dalam keteladanan...............


Wallahu'alam bishawab....

Rumah Hijau  19062011

RASA YANG TERTINGGAL ( hihi bingung kasih judul akhirnya nyomot judul lagu :D) oleh Vanda Nur Arieyani pada 29 Juni 2011 jam 15:23

coret-coret lagi ahhhhh  .......  harap maklum kalo tulisannya  GeJe   banget
maaf buat yg sudah kena sasaran tag , dihapus saja kalau nyumpekin * _*
-------------------------------------------------------------------------------------------

Saat masih gadis ( ehh … pernah muda juga lho  si Emak :D) bagiku paling tabu kalau harus merepotkan makhluk Tuhan bernama laki-laki.   Ngapain  juga wong semua-muanya juga bisa aku kerjakan sendiri .  Naik bis gelantungan biasa, pergi sendiri naik bemo keciilllll ….  Pulang  dari kegiatan agak kemalaman (di atas jam 9 malam) oke-oke aja.  Bawa belanja , angkat-angkat sendiri juga enteng aja.


Daann  … semuanya  berubah total sejak menikah.


“Yah … antarkan Ibu ya.”  * dengan nada sok ngerayu*
“Yah … tolong angkatkan dong, berat nih.”  *dengan gaya sok lemes *_*
“Yah … ada tikus di dapur, hiiii  ”  *sambil teriak loncat-loncat*
“Yah …”
“Yah …”

Ya, itulah cuplikan  sebagian kalimat-kalimat cintaku untuk laki-laki yang sudah menjadi ayah anak-anak-ku.  Hmm … dan sudah beberapa hari ini kalimat itu tidak terlontar dari mulutku.  Bukan karena aku lagi kena sariawan atau sakit gigi.  Tapi karena orang yang menjadi sasaran kata-kata mesraku itu sedang tidak berada di rumah.  Ohh .. rasanya mulut ini kaku semua hehehe.


Sebenarnya bukan masalah ditinggal, takut sendirian di rumah?? No way.  Tapi masalah ketergantungan yang sudah merasuk dan hinggap di semua sel-sel organ tubuhku.  Ketergantungan pada suami yang selalu ku repoti dengan permintaan tolong ini itu.   Ketergantungan meminta pendapat untuk semua hal dari yang sangat amat penting sampai hal-hal remeh temeh sekalipun.


Padahal tidak selamanya lhoh kita berdua selalu akur. Sering juga kita berbeda pendapat, bahkan saling diam.  Hehe wajar toh namanya saja dua kepala dengan isi yang berbeda .  Meski  sudah lebih 10 tahun dan kurang dari 15 tahun  (kira-kira sendiri ya, pasnya berapa tahun hehe )  hidup satu atap, bahkan satu kamar  tetap saja seringkali hal-hal sepele bisa menjadi penyebab kesalah pahaman.

Dan saat seperti sekarang ini, saat aku tidak bertemu untuk beberapa hari ( Ga pernah sampai berbulan-bulan sich  *_*)  aku bisa belajar banyak hal.


Aku semakin bisa merasakan kebaikan-kebaikannya, karena aku kehilangan itu.  Jika setiap hari kita bertemu pastilah kebaikan-kebaikan itu tidak terasa, karena kita sudah terbiasa merasakannya dan menjadi sebuah hal yang sangat biasa.


Jadi benarlah, bahwa kita akan merasakan seseorang begitu berharga dalam hidup kita ketika kita kehilangan orang tersebut.  Jadi pelajaran berharga yang aku dapat adalah, jangan pernah sia-siakan  kehadiran orang-orang di dekat kita.


Jangan salah juga lhoh … saat  kita  berjauhan,  disamping kebaikan,  aku juga akan merasakan kehilangan sifat-sifat  konyol atau yang paling menyebalkan sekalipun .  Bahkan sifat yang nyebelin itulah  yang paling dikangenin :D


Dan tips berikutnya adalah, jika ingin mencicipi rasa yang berbeda atau mencharge sebuah rasa dengan cita rasa berbeda,  selain menyempatkan untuk menikmati waktu berdua, bisa dicoba untuk beberapa hari   tidak saling bertemu.  Coba aja hehehe   *Tentunya ini tidak berlaku untuk pasangan yang memang sudah Long Distance Love donk*


Rumah Hijau   27 Rajab 1432 H /
*kembali mengenang , saat statusku berubah*     ^_^

Sudut Pandang: Gampang-Gampang Susah (copas dari catatan salah satu guruku Teh "Ary Nilandari"

Sudut pandang, Viewpoint, atau Point of View (POV), secara sederhana, adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita, dan bagaimana ia menyampaikan cerita kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita. Jadi tidak berubah-ubah sesukanya antaradegan. Ada beberapa pilihan POV:

1. POV orang pertama (aku): penulis menjadi si aku dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si aku. Penulis tidak bisa menggambarkan apa yang tidak dilihat si aku, tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan si aku. POV ini dianggap paling mudah, terutama bagi penulis pemula, karena seperti menulis diari saja. Hati-hati: Apa pun yang diketahui si aku tidak bisa dirahasiakan dari pembaca. Karena pembaca menjadi si aku.
Contoh:
Aku berlari mendaki bukit secepat mungkin. Aku harus meloloskan diri! Jantungku berdegup  kencang dan otot-otot kakiku mengejang. Sampai di puncak bukit, aku menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutiku. Kudengar ia menggerung keras. Rasanya tak mungkin aku bisa lepas darinya. Jelas sekali ia marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanku.

2. POV orang kedua (kau): sangat jarang digunakan. Penulis seperti mengamati tindak tanduk si tokoh (kau) melalui teropong, lalu menceritakan apa yang dilihatnya kepada si kau juga.
Contoh:
Kau berlari mendaki bukit secepat mungkin. Kau harus meloloskan diri! Kaurasakan jantungmu berdegup  kencang dan otot-otot kakimu mengejang. Sampai di puncak bukit, kau menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutimu. Ia menggerung keras. Tak mungkin kau bisa lepas darinya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir lemparanmu.

3. POV orang ketiga (dia/ia), subjektif, konsisten di satu tokoh sepanjang cerita. Batasannya hampir sama dengan si aku. Bedanya penulis masuk ke dalam kepala satu tokoh saja, si dia/ia, dan mengikutinya dengan konsisten. Hal-hal di luar pengatahuan si dia, tidak bisa digambarkan, seperti pikiran dan perasaan tokoh-tokoh lain. Dengan POV orang ketiga subjektif ini, karakter dan karakterisasi satu tokoh utama bisa dieksplorasi lebih dalam dan diperkuat. Hati-hati: Tidak mudah konsisten pada satu tokoh. Sering tanpa sadar penulis berpindah memasuki kepala tokoh lain. Diperlukan latihan dan pengalaman untuk menyadari perpindahan ini dan kembali ke jalurnya.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat ia butuhkan?

4. POV orang ketiga (dia/ia), subjektif, lebih dari satu tokoh. Penulis mengikuti dua atau tiga tokoh penting secara bergantian. Misalnya, ada tiga sahabat--Beno, Ilya, dan Denisa. Penulis memakai POV Beno di bab 1, Ilya di bab 2, dan Denisa di bab 3, dst. Berpindah-pindah pada segmen yang jelas. Eksplorasi tiga karakter utama pun jadi lebih kuat. Hati-hati: Tokoh minor sebaiknya tidak diberi jatah POV, karena hanya akan merampas ruang untuk karakterisasi tokoh utama. Biasanya POV seperti ini diterapkan pada novel. Jarang pada cerpen. Dalam cerpen, tokoh dan adegan terbatas, ruang gerak terbatas, lebih baik didedikasikan semaksimal mungkin untuk tokoh utama.
Contoh
(bab 1) Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, Beno menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Beno mendengarnya menggerung keras. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya. Jelas sekali monster itu marah karena tiga matanya terkena pasir. Beno tersenyum getir. Cuma pasir yang dimilikinya untuk melawan makhluk itu. Ke mana Ilya saat dibutuhkan? (dst mengikuti pemikiran Beno)

(bab 2) Ini desa mati. Ilya bisa merasakannya di udara. Keheningan yang aneh. Terlalu hening. Angin tak berembus. Air di palungan tak beriak sedikitpun. Ada genta angin dari kulit kerang tergantung di atap pondok terdekat. Rasanya Ilya mau memberikan semua uang di kantongnya sekarang untuk melihat genta itu berayun dan berbunyi. Ilya mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Satu-satunya bunyi kehidupan. Lalu ia melangkah. Pasir berkeresek di bawah sandalnya. Satu lagi bunyi yang membuat keheningan semakin terasa. Aaah, di mana Beno saat ia membutuhkan anak itu! (dst mengikuti pengalaman Ilya)

5. POV penulis segala tahu, playing God, omniscient. Penulis mengetahui semua kejadian, perasaan dan pemikiran semua tokoh, di semua tempat dan waktu. Sering dianggap paling mudah karena penulis jadi seperti dalang, hanya menceritakan kejadian di sana-sini. Padahal omniscient berarti juga mengetahui pemikiran dan perasaan semua tokoh. Artinya, penulis harus pandai bermanuver ketika menceritakan interaksi dua tokoh yang saling berkonflik. Bagaimana emosi dan pemikiran  dua tokoh ini ketika mereka berdialog, misalnya. Tanpa kepiawaian ini, karakterisasi tokoh-tokohnya kurang tergali, eksplorasi emosi tidak mendalam, dan akhirnya seperti menggunakan POV orang ketiga objektif.
Contoh:
Beno berlari mendaki bukit secepat mungkin. Ia harus meloloskan diri! Jantungnya berdegup  kencang dan otot-otot kakinya mengejang. Sampai di puncak bukit, ia menoleh. Oh, tidak! Monster itu masih mengikutinya. Tak mungkin ia bisa lepas dari makhluk itu, pikirnya.

Di belakang Beno, Gora menggerung keras. Langkahnya dipercepat. Sebentar lagi ia bisa menyusul anak itu. Keterlaluan sekali kalau makhluk sekecil itu bisa lolos darinya. Si Perkasa Gora dari  Lembah Hitam tak pernah gagal menangkap buruannya. Apalagi buruan yang telah mempermalukannya di depan sang Raja. Ketiga mata Gora masih terasa pedih akibat pasir yang dilemparkan anak itu.

Sementara itu, di jendela menara, Denisa menurunkan teropongnya. Ia tak sanggup menyaksikan. Beno mungkin pandai berdebat, tapi terbukti caranya tak berhasil. Denisa yang harus bertindak sekarang. Beno dan Ilya harus mengakui, dialah  yang benar.

Denisa berpaling kepada Raja Lembah Hitam. “Panggil Gora pulang. Lepaskan Beno,” bisiknya lemah. "Kami akan membantumu."

Mendengar itu, Sang Raja tergelak. Mata majemuknya seolah berteriak serempak, "Apa kataku!" Lalu ia menjentikkan jari. Isyarat yang akan didengar jelas oleh Gora.  (dst.)

6. POV orang ketiga objektif. Penulis hanya narator yang menceritakan peristiwa, tanpa menggambarkan perasaan atau pemikiran tokoh-tokohnya. Karakterisasi tidak dipentingkan. Tetapi ceritalah yang dibuat menarik sehingga pembaca ingat pada tokoh-tokohnya. Contohnya adalah dongeng-dongeng tradisional dengan tokoh hitam-putih. Sudah ditentukan oleh penulis dari awal, siapa yang baik siapa yang jahat melalui deskripsi singkat, bukan melalui perkembangan dramatis.

7. POV campuran. Lazimnya, novel menggunakan sudut pandang tunggal, orang kesatu atau ketiga. Tapi banyak penulis (terutama sastra), menggunakan campuran keduanya. Untuk satu tokoh, penulis konsisten menggunakan aku. Lalu untuk kejadian-kejadian yang si aku tidak hadir di sana, penulis menggunakan POV orang ketiga omniscient atau terbatas. James Patterson sering menggunakan POV campuran ini dalam novel-novelnya, antara lain serial Maximum Ride.

Semoga terasa bedanya ya. Silakan bereksperimen.
Seperti aku bereksperimen dengan contoh-contoh di atas, yang sebagian aku karang dadakan. Bukan diambil dari novelku yang sudah terbit.

Salam kreatif
Ary Nilandari

Hari ke 6 Ramadhan "SABAR TINGKAT TINGGI"

          Ujian paling berat saat Ramadhan adalah waktu sahur. bukan masalah harus bangun dinihari dan masak untuk makan sahur.  Tapi ujian kesabaran ini berkaitan dengan acara ritual "membangunkan anak-anak sahur"

           Ketika semua sudah siap, tibalah saatnya membangunkan para krucil. dengan suara lembut tidak mempan, ditambah tepuk-tepuk pipi reaksi hanya menggeliat, dengan mata tetap terpejam rapat.  Jurus selanjutnya dipakai, di peluk, trus diangkat tangannya kemudian di gandeng ke kamar mandi.  Kubasuh muka si kakak dengan air kran yang dingin, biar bisa melek.

          Kutinggal sikakak, gantian ku bangunkan si Adek dengan cara yang sama. Ehh ... lhadalah . Aku hanya bisa beristighfar, rupanya si kakak tergeletak kembali di di kamar sebelah asik melanjutkan mimpinya.  Begitu kembali membangunkan kakak, si Adek  yang tadi kutinggal, ketika aku kembali juga sudah tergeletak meneruskan mimpinya di depan televisi.  MasyaAllah ... waktu habis untuk acara membangunkan sahur.  Hingga seringkali sahur dimulai, sekitar 20 sebelum imsak.  Ceritanya mengikuti sunah rosul, mengahirkan sahur :)

        Jika aku kembali merenung, dan teringat Almh. Mama. Rasanya tak ada separuhnya perjuanganku.  Dulu Mama harus membangunkan 6 orang anak, dan itu dilakukan dengan kesabaran yang luar biasa.  Bandingkan dengan aku yang hanya membangunkan 2 orang anak, tak ada apa-apanya.

         Semoga latihan puasa kalian menjadi ladang amal buat Ibu, dan menjadi bekal ruhani ketika kalian sudah baligh,  menerima dan menjalankannya sebagi sebuah kewajiban pribadi *_*
Monday 15 August 2011

Catatan di hari ke 5 Ramadhan "Curhat Narsis"

   Ramadhan tahun ini, keberkahan begitu menyelimutiku.  Banyak kabar gembira menyapa dan menghampiriku.  Kabar dari tim IIDN  jika cerita 101 Ibu  akan diterbitkan di GPU,  naskah AMAZING MOM-ku ternyata  lolos dan akan melenggang ke GPU juga.
    
    Dan yang paling menakjubkan, naskah cernak-ku ikut bergabung dengan para senior di PBA  (Pebulis Bacaan Anak) dalam audisi "Jejak Kasih untuk PBA".  Dari 5 naskah yang aku kirim, ada 1 yang nyangkut, itu sudah sebuah kelegaan dan kebahagiaan luar biasa.  Bayangkan, sainganku adalah para penulis beken yang sudah lama malang melintang di dunia penulisan, khususnya bacaan anak. Sungguh sebuah kehormatan luar biasa, bisa bersanding dengan mereka dalam sebuah buku.

    Rasanya sudah tak sabar menunggu buku ini terbit.  InsyaAllah buku ini akan di terbitkan di Penerbit Zikrul Hakim.  Semoga ini menjadi langkah awal buatku untuk memantapkan hati, mengukir penaku untuk bacaan anak.  Meskipun sementara ini aku masih jadi penulis abal-abal, serabutan bin nekat.

    Kebahagiaanku tidak berhenti sampai disini.  Ternyata aku dikelilingi oleh orang-orang hebat, yang  tak pernah berhenti dan segan berbagi sekaligus sangat rendah hati. 

     Aku begitu kaget, senang campur tersanjung ketika pagi sehabis sahur mengecek inbox FB. Ada seorang peri baik hati yang menyapaku.  Ya, dia adalah Bunda Peri Ary Nilandari, begitu para penghuni negeri Paberland menyapanya.  Dan sebutan itu sangat cocok dengan beliau.

     Bunda Peri, menyapaku dan mereview beberapa cernak-ku yang tidak terpilih.  Dan lebih bahagia lagi, aku diberi kesempatan untuk konsultasi gratis person to person dengan mbak Rf Dhonna, yang tentunya lebih pengalaman dalam hal menulis cernak.  Ohh ... bahagianya mendapat perhatian sebesar ini.
     Tak ada alasan untuk behenti.  Karena aku telah menemukan duniaku disini.  Menajamkan pena untuk menulis jejak kebaikan yang bisa aku wariskan untuk anak cucuku.
        
     Meski perbandingan naskah yang lolos dan yang ditolak untuk kemudian masuk folder recycle  adalah 1 banding 1000 duhh ... mulai lebay deh :D. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat dan langkahku. 

      Selalu kurapal mantra-mantra itu ... "MAN JADDA WA JADDA" "MAN SHABARA ZHAFIRA" So... Naskah kalah audisi atau ditolak so what gitu lhoh. Bagiku kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, dan penolakan adalah kesempatan untuk memperbaiki diri :)

     Semoga mimpiku untuk bisa menorehkan namaku di punggung sebuah buku akan segera diijabah, Amiin :)

Belajar dari bersin

Belajar dari bersin
Isa Alamsyah

Sekalipun sepele, dari bersin kita bisa belajar tentang nilai kehidupan yang sangat berharga.

Bersin tidak lain adalah bentuk penolakan tubuh atas sesuatu yang dianggap tidak berpotensi bahaya bagi tubuh.

Begitu antisipatifnya, ketika bersin, kita menghasilkan kecepatan secepat 150km/ jam.

Jadi ada dua hal yang perlu diperhatikan dari bersin; pertama bersin mencakup sesuatu yang mempunyai potensi bahaya dan kedua potensi bahaya tersebut ditolak dan dibuang jauh-jauh secepat-cepatnya agar tidak membahayakan.


Nampaknya dari bersin Allah ingin mengajarkan pada kita untuk selalu bersifat responsif, antisipatif dan cepat terhadap hal-hal yang membahayakan kita.


Jadi kalau ada potensi bahaya, kita harus segera mengantisipasinya.

Tapi apakah begitu kebanyakan manusia bersikap?


Sayangnya justru manusia sering bersikap kebalikannya.

Banyak manusia menunda-nunda terhadap potensi bahaya.


Misalnya ada anak yang didekati teman yang mengajak ke pergaulan tidak baik,

bukan buru-buru menghindar malah berbaur sekedar untuk berteman.

Awalnya ia yakin tidak akan terlibat tapi lama kelamaan ikut terjerumus.


Ada orang tak sengaja buka situs porno. Awalnya cuma sekedar ingin tahu.

Lama kelamaan jadi kebiasaan , lalu jadi ketagihan.

Jika ikut prinsip bersin langsung ditutup dan dijauhi.

Tapi kalau tidak, penasaran malah akhirnya terjerumus.


Ada suami atau istri yang bertemu teman lama (baca: pacar lama)

Mereka tahu CLBK mulai tumbuh.

Bukan buru-buru bersin (baca: mengindar), malah sering janjian ketemu.

Akhirnya cinta lama tumbuh kembali dan ujungnya rumah tangga berantakan.


Intinya belajar dari bersin, kita harus buru buru mengantisipasi segala potensi bahaya, dengan kecepatan penuh.

Karena itu kalau kita bisa bersin kita ucapkan Alhamdulillah.


Mohon komentarnya di http://www.isaalamsyah.com/2011/06/belajar-dari-bersin.ht

Belajar dari Tulang

Belajar dari Tulang
Isa Alamsyah

Fungsi tulang terlihat sederhana jika di banding otak atau jantung, padahal tanpa tulang manusia juga tidak bisa bertahan lama untuk hidup.
Di sebuah tayangan National Geographic tentang tulang, ditampilkan gambar manusia sedang berdiri.
Lalu channel tersebut menujukkan ilustrasi apa yang terjadi jika manusia tidak ada tulang.
Gambar manusia berdiri tersebut langsung jatuh ke tanah dan menceper seperti karpet.
Ya itulah manusia jika tanpa tulang.
Manusia seperti karpet, atau gumpalan kain yang berada di lantai.

Tulang manusia terdiri dari dua komposisi utama yaitu
collagen fibril dan kalsium.
Seandainya saja tulang manusia hanya terdiri atas kalsium saja maka tulang manusia akan rentan pecah seperti kaca.
Tentu saja Anda tidak mau bukan jika jatuh lalu terpecah belah.
Bayangkan, berapa manusia utuh yang tersisa di dunia jika tulang manusia hanya terdiri dari kalsium.

Seandainya saja tulang manusia hanya terdiri collagen fibril saja, maka tulang manusia akan seelastis karet.
Mungkin Anda melihat manusia berjalan membal, menggelinding, menyeret, jika terdiri hanya dari collagen fibril.

Allah sudah menciptakan tulang dengan komposisi paling ideal.
Dengan campuran kalsium dan collagen fibril, maka tulang mempunyai kekuatan yang luar biasa dengan fleksibilitas yang menakjubkan.

Sebuah percobaan menunjukkan, tulang mempunyai kekuatan lebih kuat dari beton dengan baik dalam kekuatannya apalagi fleksibilitasnya (dalam skala yang sama).
Karena itu bersyukurlah akan ciptaan Allah ini.

Lalu apa yang kita bisa ambil hikmah dari komposisi material tulang ini?
Dari komposisi tulang kita bisa belajar tentang mental manusia.
Tulang mengajarkan kita untuk bisa tegas dan fleksible dalam waktu bersamaan.
Tulang mempunyai funsi sebagai sandaran dan perlindungan.
Jika Anda ingin melindungi diri sendiri dan keluarga, atau m,enjadi tempat bersandar.
Maka tugas Anda adalah : TEGAS (KUAT) dan tetap FLEKSIBEL.

http://www.facebook.com/groups/389144170604/doc/?id=10150302323880605

Mendeteksi, mengantisipasi masalah dalam pernikahan

Mendeteksi, mengantisipasi masalah dalam pernikahan
"NCHSI - Penting untuk yang sudah menikah atau niat menikah"
Isa Alamsyah

Ketika buku catatan hati seorang Istri pertama kali terbit beberapa tahun lalu, buku ini menjadi buku best seller nasional selama setahun penuh.
Gramedia juga menempatkan buku yang berisi catatan kisah nyata para istri yang menjadi korban kekerasan rumah tangga, selingkuh, poligami ini sebagaisebagai buku best seller versi Kompas Gramedia.

Buku yang kini berjudul "New Catatan Hati Seorang Istri" ini, juga banyak dapat pengharagaan, karena itu yang belum baca "New Catatan Hati Seorang Istri" segera sempatkan untuk baca.

Selain sangat laku terjual, buku direpublish dengan kisah tambahan, juga memicu kontroversi.

Di satu sisi para istri banyak yang merasa terwakili isi buku ini.
Sejak terbitnya buku ini banyak wanita, terutama para istri, yang menelepon, email, konsultasi kepada Asma Nadia, sang penulis, terutama ingin menyampaikan betapa buku ini membantu mereka melewati masa-masa sulit dalam rumah tangga.

Ya memang penderitaan kita akan berkurang ketika kita menyadari kita tidak hanya sendiri.
Banyak juga yang bilang bisa belajar dari orang senasib bagaimana mengatasi sebuah krisis rumah tangga.
Sebagian lain yang tidak mengalaminya juga menjadi lebih bersyukur dan belajar lebih banyak agar tidak mengalaminya.
Di sisi lain beberapa suami merasa dipojokkan.
Ada suami yang melarang istrinya baca buku ini, atau setidaknya tidak merekomendasikan buku ini. Misalnya seperti komentar di good read:
Mbak Asma, sengaja maupun tidak, telah menggiring pembacanya untuk menggeneralisasi bahwa laki-laki, meski sholeh sekalipun, bisa saja berkhianat, bahkan berselingkuh. Wah-wah,.. absolutely not reccomended. "
Ada pria yang langsung defensif (membela diri)
"Kali ini, memoar Asma Nadia memuat nuansa gender sangat terasa."
 "Feminis. Ada kesan, begitu banyak KDRT yang terjadi karena kesalahan pihak laki-laki semata. 

Tapi ada juga suami yang justru merekomendasikan (membelikan) istrinya buku ini dan membaca buku ini.
Bagi sang suami, buku ini membuat ia berkomitmen untuk tidak menjadi suami yang buruk sebagaimana sebagian besar suami yang ada dalam buku ini.

Beberapa pria lajang yang membaca buku ini juga berkata mereka akan menjadi suami yang baik, tidak seperti dalam buku ini.

Dengan berbagai kontroversinya ini, saya justru jadi tertarik untuk merekomendasikan buku ini sebagai alat deteksi dan alat antisipasi sebelum menikah, bahkan sesudah menikah.

Dalam workshop Sakinah Family yang kami adakan.
Salah satu materinya adalah mendeteksi masalah pernikahan sebelum menikah.
Materi ini penting karena ternyata banyak masalah yang muncul dalam pernikahan,
ternyata kalau diurut ke belakang sudah bisa dideteksi jauh sebelum menikah.
Jadi kalau sudah diantisipasi seharusnya tidak jadi masalah, atau setidaknya menjadi lebih ringan.
Di workshop ini kami memberikan pertanyaan-pertanyaan kunci yang membuat kita minimal bisa terhindar dari masalah atau minimal mengantisipasinya.

Contoh sederhananya begini.
Misalnya Anda calon istri, punya calon suami Anda anak sulung, kira kira apa yang terjadi?
Bisa jadi gaji suami tidak semuanya untuk rumah tangga, beberapa mungkin harus untuk membiayai adik suami, apalagi kalau sang suami selain sulung juga sudah tidak punya ayah. Maka ia juga membiayai ibunya.
Jika Anda sadar potensi masalah ini, maka Anda tidak kaget kalau keuangan rumah tangga terganggu oleh uang kuliah adik suami dll.
Tapi kalau kita tidak antisipasi, dan kita terkaget-kaget setelah menikah, jadi sumber keributan,  dan bisa jadi masalah.
Karena itu sebelum menikah buat daftar pertanyaan untuk pengenalan.
Kalau orang pacaran butuh waktu bertahun-tahun mengetahui calon pasangan hidup, tapi mereka yang menolak konsep pacaran maka butuh pertanyaan kunci untuk mendeteksi calon pasangan. Bahkan pertanyaan kunci ini lebih powerful dari pengenalan melalui pacaran.

Contoh lain, calon istri  mempunyai calon suami yang berasal dari pulau seberang.
Maka kalau sang istri sadar, bisa jadi setiap lebaran ia tidak bisa lagi kumpul dengan keluarganya karena harus ikut suami lebaran di kampung halaman, jika tidak di antisipasi sebelum menikah. Tapi kalau sadar keadaan ini maka bisa diantisipasi misalnya dengan kepakatan sebelum menikah, dua tahun  sekali bergantian lebaran di hari pertama. Potensi masalah bisa dieliminasi.

Kembali ke tema buku "New catatan hati seorang istri".
Lalu bagaimana calon istri menggunakan buku ini sebagai alat mendeteksi calon suami.
Sederhana.
Pertama si wanita harus baca buku ini. Membaca buku ini membuat kita terbuka akan tantangan yang mungkin ada (Kalau sudah baca versi lama, di anjurkan baca juga versi new catatan hati, karena banyak informasi tambahan).
Kedua, minta calon suami membaca buku ini juga. (Kalau calon suami keberatan membaca katakan ini penting buat mu sebagai calon istri, kalau masih tidak mau baca alasannya tidak suka membaca,  lihat seberapa ia menghargai yang penting bagimu apakah penting juga baginya).
Ketiga, setelah keduanya membaca, tanya kepada calon suami
"Bagaimana komentar tentang buku ini?"
Dari jawabannya kita bisa mendeteksi suami seperti apa kemungkinan ia di masa depan.
(Sekalipun tidak ada yang namanya pasti).

Mungkin sang calon suami bilang;
"Insya Allah, aku gak akan seperti itu"----insya Allah aman. Calon suami menjadikan itu pembelajaran untuk tidak terjebak dalam kesalahan yang sama.
"Wah, buku ini menyerang laki-laki aja, perempuan juga sama aja lagi!"---berarti dia defensif, siap-siap, ini lampu kuning.
"Ini buku tidak mendukung syar'i tentang poligami!"---berarti Anda boleh tanya lagi, "Apakah
kamu berniat poligami?" ---well selanjutnya silahkan kembangkan.

Intinya buku ini jika dibaca kedua belah pasangan akan menjadi alat deteksi yang bagus untuk tahu apa yang ada dalam pikiran calon suami atau istri.
Juga menjadi pembelajaran yang bagus untuk pasangan yang menikah.

Lihat komentar tentang buku ini di
http://www.goodreads.com/book/show/6766006-catatan-hati-seorang-istri


Jangan lewatkan
Workshop 3 in 1 Sakinah Family
Minggu 24 Juli 2011
Asma Nadia Center, Jalan Merapi Raya No. 42,
Depok Timur 16417

Strong financial Family with Think Dinar (Endy J. Kurnioawan)

Strong Spiritual Family with No Excuse (Isa Alamsyah)
Strong and Happy Family with Sakinah Spirit (Asma Nadia)
Investasi Rp 300.000
Hub Rifa Aulia 085218683858

http://www.facebook.com/groups/389144170604/doc/?id=10150322126830605
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...