Tuesday 16 August 2011

KEJUJURAN YANG TERKOYAK oleh Vanda Nur Arieyani pada 19 Juni 2011 jam 8:05

Bismillahirrahmanirrahiim .....



           Hal yang paling menentukan dari proses belajar formal di negeri ini adalah apa yang dinamakan ujian akhir.  Dulu semasa saya masih sekolah,  ujian akhir sekolah di beri nama EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), sekarang istilah berubah menjadi UNAS (Ujian Nasional) dan entah tidak tahu berubah menjadi istilah apalagi.  Yang pada intinya adalah ujian akhir setelah melewati masa beberapa tahun sekolah untuk mendapatkan predikat lulus dengan ditandai selembar surat tanda tamat belajar, atau kerennya disebut ijazah.

             Dulu, ketika masa saya sekolah, untuk mendapatkan selembar ijazah itu kami harus  melewatnya melalui  ujian yang  masih menjunjung tinggi “kejujuran” diatas segalanya.  Rasanya malu sekali kalau ketahuan tidak jujur saat ujian.  Tapi “kejujuran” inilah yang sekarang menjadi barang teramat mahal dan sangat berharga, bahkan semakin langka di dunia pendidikan saat ini.  Apalagi kalau berhubungan dengan masalah UNAS yang menjadi titik ukur keberhasilan seorang murid dan terutama keberhasilan sebuah sekolah untuk mencapai kebanggaan dengan keberhasilan meluluskan muridnya 100%.

           Terhenyak, melihat seorang ibu dengan suara bergetar menahan tangis mengadu di sebuah stasiun TV tentang anaknya yang  menjadi korban praktek ketidakjujuran ini.  Sang anak sampai trauma, dadanya sesak, kepalanya pusing menahan gejolak perasaan yang menyerbu dada kecilnya yang masih bersih.  Dia bingung antara nilai-nilai moral yang selama ini ditiupkan oleh bunda dan lingkungannya, terkoyak begitu saja oleh 'ketidakjujuran UN' yang hanya berlangsung 3 hari.  Mungkin banyak anak yang cuek, tapi nilai-nilai moral itu otomatis sudah ternoda.  Dan sebenarnya masih banyak Ibu-ibu  lainnya yang merasakan hal yang sama, tapi mereka tidak tahu hendak berteriak dan mengadu pada siapa.


             Kisah-kisah di bawah ini berasal dari orang-orang dekat di sekitar saya, setahun yang lalu.  Yang membuat rongga dada saya ikut begetar dan perih mendengarnya.  Kisah-kisah yang sudah bukan rahasia umum lagi, tapi baru menjadi berita saat ada seorang Ibu yang berani dan nekat 'berteriak'

           Cerita pertama saya dapat dari seorang teman yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Ketika UNAS menjelang maka seperti  biasa masing-masing sekolah akan melakukan pengawasan silang, dan para pengawas ini diberi pengarahan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini. Dan pengarahan yang diberikan sungguh membuat para guru dan orang-orang yang masih sehat nuraninya melongo kaget. Bagaimana tidak, demi untuk mencapai angka kelulusan 100% atau minimal tidak memalukan bagi pihak sekolah atau daerah yang bersangkutan, maka dihalalkanlah "KETIDAK JUJURAN". Dalam pertemuan itu, dibuatlah sebuah kesepakatan bersama.,  yang isinya adalah, bahwa pengawas harus membiarkan peserta ujian untuk saling contek, bila perlu membantu para peserta ujian untuk mengerjakan soal-soal ujian mereka dengan cara-cara yang di sepakati bersama juga.

        Tidak hanya sampai disini, para anak didik peserta ujianpun oleh masing-masing sekolah diberi pengarahan untuk menghalalkan segala cara agar lulus. Diajarkanlah trik-trik mencontek, ataupun kerjasama antar siswa untuk saling memberi jawaban.  Bila memang diperlukan sekolah akan mencari kunci jawaban, untuk dibagikan pada siswa mereka sebelum UNAS berlangsung.   Nah… bikin perih dan pedih kan mendengarnya.

          Akan menjadi apa bangsa ini jika anak-anak usia pendidikan dasar sudah diracuni kebobrokan moral semacam ini.  Rasanya hancur sudah kebiasaan untuk jujur, percaya pada diri sendiri yang ditanamkan di rumah, ditempat mengaji, dan di kelas-kelas selama ini.  Ajaran yang ditanamkan sejak dini , bahwa Allah Maha Tahu, Allah tidak pernah tidur, Allah melihat apapun yang kita lakukan tergadai sudah.

          Dan pengalaman teman saya ini semakin nyata ketika hari "H" ujian berlangsung. Semua peserta ujian di sekolah yang dijaganya, ramai bagai pasar , mereka dengan santai mencontek dari lembaran kertas yang mereka sudah persiapkan, saling bertanya antar teman dan sebagainya. Hati nurani teman saya sebagai seorang pendidik yang selama ini begitu teguh memegang dan mengajarkan kejujuran terkoyak,
 " Tak ada gunanya saya mengawasi ini semua." gumam teman saya waktu itu.

        Ya…buat apa dia berada disana sebagai pengawas, jika fungsi sebagai pengawas sama sekali tidak ada.  Pengawas ujian yang seharusnya disegani, sama sekali tidak dianggap, bahkan seolah-olah tidak ada.  Pengawas ujian yang seharusnya bertugas mengawasi anak-anak peserta ujian untuk berlaku jujur, justru dianjurkan untuk membantu anak-anak menikam kejujuran.

"Alhamdulillah…” Kata teman saya dengan perasaan lega luar biasa.  Perasaan lega itu terpancar karena  sekolah tempat dimana dia mengabdi, tidak ikut dalam "kesepakatan" itu.

“Kami tetep memegang teguh apa yang kami yakini benar.  Dan Alhamdulillah, anak-anak didik kami lulus 100% dengan sangat bangga, dengan hasil yang memuaskan meskipun tidak menjadi yang terbaik.  Dan itu lebih membanggakan , karena itulah hasil kerja keras mereka.”  Kata teman saya sambil tersenyum.

          Ada cerita juga dari seorang teman tentang anaknya yang "STRESS" saat menghadapi Unas. Bukan karena tidak siap dengan materi pelajarannya, tapi karena batinnya bergolak. Betapa selama ini dia diajari untuk jujur, percaya pada diri sendiri, tapi pada akhirnya dia harus menerima kenyataan "Ketidak Jujuran berjama'ah" yang dimaklumi dan disarankan seperti yang diceritakan teman saya diatas itu.   Rasanya proses pendidikan selama-bertahun-tahun itu hancur sudah oleh beberapa hari pelaksanaan ujian nasional.

           Seorang tetangga juga bercerita, pagi hari saat subuh baru saja menjelang, ketika anaknya sedang mempersiapkan segala perlengkapan  untuk ujian hari itu, telah masuk SMS yang berisi jawaban-jawaban UNAS ke ponsel anaknya.  Sungguh sangat miris mendengarnya,  padahal anak tetangga saya itu baru akan menempuh ujian kelulusan tingkat sekolah dasar.  Ternyata praktek perjokian sudah merambah di pendidikan pada tingkat dasar, yang seharusnya menjadi pijakan untuk menanamkan moral pada anak-anak kita.  Padahal tanpa bocoran jawaban itupun , saya yakin si anak bisa mengerjakan soal-soal ujiannya, jika dia belajar dengan sungguh-sungguh.  Orang tua yang seharusnya menjadi benteng moral bagi anak-anaknya,  ternyata ikut andil juga dalam masalah ini.  Sungguh ironis sekali.

            Teman satu kantorpun tak kalah kaget, bagaimana tidak, saat sedang repot dan sibuk dengan pekerjaan di kantor, adiknya yang saat itu sedang menjalani UNAS untuk kelulusan di tingkat sekolah menengah pertama, masih bisa bertanya lewat SMS tentang jawaban soal ujiannya (hehehe… ujian sekarang jadi seperti ikut kuis di televise saja rupanya)


             Gebyar berlangsungnya UNAS (ujian nasional) mulai tingkat dasar hingga tingkat lanjutan atas yang setiap tahun menjadi perhelatan besar dan penuh debar akan selalu terjadi berulang , dan  banyak cerita-cerita seputar ujian itu yang membuat dada ini bergetar, miris, bahkan perih ,  (meskipun ini rasanya sudah bukan rahasia umum lagi).


             Semoga masih banyak para pendidik di negeri ini yang masih punya hati nurani, mendidik dengan hati.  Karena sesungguhnya nilai-nilai pendidikan bukan hanya hasil di atas kertas, tapi goresan kebajikan, kejujuran, dan budi pekerti yang luhur  yang terus menerus dituliskan dihati anak-anak, dan diwujudkan dalam keteladanan...............


Wallahu'alam bishawab....

Rumah Hijau  19062011

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...